Jakarta –
Abdul Kadir Usman bisa dibilang sebagai pendaki senior. Dia mengatakan ada perbedaan mendaki gunung dulu dan sekarang.
Selain Sebab telah berusia 61 tahun, pria yang akrab disapa Bisir itu juga sudah mendaki puluhan gunung. Dia memulai pendakian pertamanya Pada duduk Di bangku SMA.
Lalu, Bisir mulai menjadikan mendaki gunung sebagai kegiatan rutin Setelahnya tergabung Di organisasi Mahasiswa Pencinta Alam (Mapala) Pada kuliah.
Justru Setelahnya lulus Di kuliah, dia masih memilih mendaki gunung sebagai Karya libur.
Hingga Lalu dia dipaksa mengalah Bersama kelebihan berat badan dan diabetes. Tetapi Lalu mulai 2018, dia pulih dan kembali rutin mendaki gunung kembali.
Abdul menjelaskan pendakian Pada ini sudah lebih mudah Sebab Gaya mendaki sudah umum Di Komunitas.
“Pada ini berbeda Bersama dulu ya, sekarang pendakian sudah ramai Justru terkadang Di beberapa gunung Di Pulau Jawa perlu ngantri bergantian Pada melintasi jalur pendakian,” kata Bisir Pada dihubungi detikTravel, Kamis (18/7/2024).
Sambil Itu, dulu pendakian relatif sepi. Justru, menjadi hal lumrah hanya menjumpai satu atau dua rombongan setiap kali mendaki gunung.
Perbedaan itu, menurut Bisir, membuat Karya mendaki gunung relatif lebih mudah dilakukan kendati Untuk awam.
Di Itu, Pada ini sudah ada beragam fasilitas pendukung, seperti porter hingga ojek Di beberapa gunung. Untuk pendaki yang kesulitan Di pendakian pun menjadi lebih mudah meminta Dukungan jika terkendala Pada pendakian.
Seluruh aspek itu membawa Gaya pendakian Di beragam demografi. Ia menyebut Pada ini kerap melihat pendaki-pendaki muda yang mendaki gunung Untuk memburu konten. Mereka mendaki gunung tidak kucel lagi, tetapi wangi dan berdandan atau merias diri sesampainya Di puncak gunung Untuk mengabadikan momen dan membuat konten.
“Nggak ada masalah selagi mereka taat aturan, nggak mengganggu sesama dan lingkungan. Malahan kami senang juga Di atas gunung (pendaki) ada yang wangi pakai Aroma gitu,” kata Bisir seraya bercanda.
Tetapi, meningkatnya jumlah pendaki dan kemudahan mendaki gunung itu ada efek negatifnya. Yang paling mencolok adalah kontrol Pada sampah Lebih berkurang.
Ya, gunung yang dulu adalah Tempattinggal para pencinta alam, kini juga dijajaki Bersama oknum-oknum yang ingin menikmati keindahan tetapi kurang bertanggung jawab.
Di pengalamannya mendaki gunung Setelahnya berusia lanjut ini, sampah menjadi pemandangan biasa Di jalan dan tempat mendirikan tenda. Dia menyayangkan sikap para pendaki yang tidak membawa pulang sampah yang mereka bawa.
“Sekarang yang membuat miris itu kan mereka nggak punya kesadaran, tanpa Belajar, bahwa dia lagi menikmati alam, tetapi membuang sampahnya sembarangan,” ujar dia.
Di sisi lain, salah satu yang menjadi pembeda Di Karya mendaki Pada ini adalah khidmat dan ketenangan. Sebab telah banyaknya Komunitas melakukan pendakian maka jalur pendakian dan Justru pelawangan padat pendaki.
“Dulu waktu belum banyak pendaki, suara-suara alam tuh muncul kayak suara burung dan lainnya. Tetapi, ketika orang banyak kan biasanya menjauh suara itu. Makanya saya seringnya menghindari pendakian Di akhir pekan,” ujar dia.
Perihal kedekatan Bersama Komunitas Disekitar pun juga berbeda Pada ini Bersama beberapa tahun silam. Ia berujar, dulu Komunitas bisa sangat Disekitar Bersama warga Di kaki gunung hingga menginap dan makan bersama warga. Tetapi kini Bersama banyaknya pendaki dan pengelolaan gunung yang sudah formal, kedekatan itu perlahan agak luntur.
Tetapi, satu hal yang ia apresiasi adalah eratnya hubungan antar pendaki masih dapat dirasa hingga kini. Ia masih kerap berbagi ataupun bertukar Barang Dagangan hingga Konsumsi ketika saling membutuhkan, hingga bercengkrama satu sama lain.
Ya, Kendati Pada mendaki dia tidak lagi disapa sebagai bro atau bang atau mas atau aak, tetapi mbah atau kakek atau aki-aki.
Artikel ini disadur –> Detik.com Indonesia Berita News: Pendaki Senior Ceritakan Perbedaan Mendaki Gunung Kini dan Dulu