loading…
Hendrianto. Foto/Istimewa
Lead Architect Hendrianto Architect
BICARA soal Tempattinggal, banyak orang masih melihatnya sebatas “atap pelindung” Bersama hujan dan panas. Padahal, Tempattinggal jauh lebih Bersama itu. Tempattinggal adalah ruang tumbuh, tempat cerita keluarga terjalin, dan fondasi masa Di bangsa. Tetapi Di Di derasnya arus urbanisasi dan mahalnya harga lahan, banyak keluarga Indonesia akhirnya harus puas Bersama Tempattinggal susun berukuran sempit, sering kali hanya Memperoleh satu atau dua kamar tidur.
Sekilas, ini Bisa Jadi terlihat wajar: yang penting ada tempat berteduh, sudah cukup. Tapi kalau kita mau jujur, Kebugaran ini menyimpan persoalan besar yang sering terabaikan. Di era sekarang, ketika Topik mental health , work-life balance, dan Mutu Pembelajaran anak makin banyak dibicarakan, ukuran Tempattinggal ternyata memainkan peran penting.
Ruang Sempit, Mental Ikut Terjepit
Bayangkan sebuah keluarga muda Di Jakarta atau kota besar lainnya. Orang tua bekerja Bersama Tempattinggal Sebab jadwal remote working masih berlaku sebagian. Anak-anak belajar daring atau harus mengerjakan tugas sekolah lewat laptop. Semua Kegiatan itu terjadi Di ruang sempit dua kamar.
Awalnya terasa bisa diatur. Tapi lama-lama, Beban menumpuk. Orang tua tidak punya ruang pribadi Sebagai beristirahat atau Berbicara. Anak remaja kehilangan Kepribadian Sebagai menemukan jati diri. Suara Bersama ruang tamu bisa Bersama mudah mengganggu konsentrasi belajar. Tempattinggal, yang seharusnya Karena Itu tempat pulang paling nyaman, justru berubah menjadi sumber tekanan.
Baca Juga: Lokasi Bersama Jumlah Tempattinggal Susun Terbanyak Di Jakarta, Berikut Urutannya
Kejadian Luar Biasa ini sangat Yang Berhubungan Bersama Bersama meningkatnya kesadaran Berencana Kesejaganan mental. Kita sering mendengar Pencalonan Politik tentang pentingnya menjaga mental health, tetapi jarang membicarakan bagaimana faktor ruang hunian bisa memperburuk atau memperbaiki Kebugaran itu. Padahal, jika keluarga hidup Di Kebugaran “terjepit”, potensi Beban, konflik, hingga rasa lelah emosional Berencana makin tinggi.
Pembangunan Tempattinggal susun seharusnya Mengkaji dimensi psikologis penghuni, bukan sekadar efisiensi lahan. Mendesain unit Bersama minimal tiga kamar tidur bukanlah kemewahan, melainkan strategi Sebagai menciptakan ruang aman Untuk Kesejaganan mental keluarga. Hunian harus dilihat sebagai instrumen preventif Pada masalah Beban dan konflik Tempattinggal tangga.
Anak Butuh Ruang Sebagai Bermimpi
Kalau kita menengok Di masa kecil, Bisa Jadi kita masih ingat betapa berharganya punya ruang pribadi: kamar Sebagai belajar, Sebagai menempel poster idola, atau sekadar tempat curhat Bersama diri sendiri. Itu semua Pada Bersama proses tumbuh.
Sayangnya, Untuk banyak anak Di Tempattinggal susun sempit, kesempatan itu hilang. Mereka harus berbagi ruang Bersama orang tua atau saudara kandung. Tidak ada sudut Damai Sebagai membaca Literatur, menggambar, atau mengerjakan PR.
Padahal, Di era digital sekarang, anak-anak Berjuang Bersama tantangan yang jauh lebih besar. Mereka harus bersaing Di dunia yang sudah dipenuhi kecerdasan buatan, Keahlian mutakhir, dan Keinginan Dunia. Jika Sebelum kecil mereka sudah kesulitan menemukan ruang Sebagai belajar Bersama fokus, bagaimana Bisa Jadi bisa tumbuh Karena Itu generasi yang siap Berjuang Bersama dunia?
Pemerintah dan pengembang perlu memasukkan kebutuhan ruang anak Di standar Tempattinggal susun. Tidak cukup hanya menghitung “jumlah kepala keluarga per unit”, tetapi harus ada perhitungan tentang fungsi ruang Untuk tumbuh kembang anak. Minimal tiga kamar tidur berarti memberi anak kesempatan Sebagai punya ruang belajar dan ruang personal. Bersama cara itu, kita Lagi menyiapkan generasi yang lebih siap Berjuang Bersama persaingan Dunia.
Bersama Tempattinggal Di Keadaan Ekonomi Negara
Topik Tempattinggal sempit ini juga punya efek domino Di ranah yang lebih luas: perekonomian bangsa.
Artikel ini disadur –> Sindonews Indonesia News: Pentingnya Tempattinggal Susun Lebih Luas Sebagai Keluarga Muda